BOLTIM – Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Laskar Anti Korupsi Indonesia (LAKI) Sulawesi Utara (Sulut), Firdaus Mokodompit, angkat bicara terkait peristiwa kecelakaan kerja yang menimpa Revandi Bikitane, warga Desa Lanut, Kecamatan Modayag, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur.
Revandi menjadi korban kecelakaan kerja di salah satu lokasi tambang di Desa Lanut yang melibatkan pihak investor, Irfan Tumembow.
Firdaus menegaskan pentingnya pemenuhan kesepakatan antara keluarga korban dan pihak investor.
“Sebelum ada kesepakatan tentu ada musyawarah antara keluarga dan pihak investor. Ketika musyawarah itu menghasilkan titik terang, pasti akan dibarengi dengan surat kesepakatan bersama yang menjadi bentuk perjanjian yang harus dipenuhi,” ujarnya.
Menurut Firdaus, jika surat kesepakatan bersama tersebut tidak dipenuhi, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap perjanjian. Ia juga menekankan bahwa hal ini dapat dituntut secara pidana.
“Dalam waktu dekat, saya akan mendampingi keluarga korban untuk mendapatkan hak mereka. Jika tidak ada itikad baik, persoalan ini akan berlanjut ke ranah hukum,” tegas Firdaus.
Sementara itu, upaya untuk menghubungi Irfan Tumembow melalui telefon dan WhatsApp terkait masalah ini belum mendapat tanggapan.
Seperti diketahui, peristiwa nahas yang dialami Revandi Bikitane terjadi pada 25 April 2024. Saat itu, Revandi bekerja sebagai helper di lokasi tambang.
Ia menjadi korban ketika alat berat yang tengah melakukan pengerukan material tanah mengandung emas, secara mendadak menyebabkan tanah longsor dan menimpa tubuhnya. Insiden tersebut mengakibatkan kedua kaki Revandi patah.
Hingga saat ini, pihak keluarga korban merasa belum ada itikad baik dari Irfan Tumembow untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan pernyataan bersama yang telah ditandatangani sebelumnya.
Ibu korban, Jayanti Paputungan, mengungkapkan kondisi sulit yang dialami keluarganya.
“Hingga sekarang tidak ada itikad baik dari Pak Irfan Tumembow untuk menanggung biaya pengobatan dan pemulihan anak kami sesuai pernyataan bersama yang kami tandatangani,” ungkap Jayanti.
Selama delapan bulan terakhir, Jayanti hanya bisa merawat anaknya dengan segala keterbatasan ekonomi. Biaya pengobatan untuk patah tulang kedua kaki Revandi sangat besar, jauh di luar kemampuan mereka. Kondisi ini semakin memperburuk situasi keluarga korban.
Firdaus Mokodompit menegaskan bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam jika hak-hak korban tidak dipenuhi.
“Kami akan terus mengawal kasus ini hingga keluarga korban mendapatkan keadilan dan hak yang seharusnya menjadi milik mereka,” tutup Firdaus. (**)