Pariangan: Desa Tuo yang Memasak Sejarah

oleh -820 Dilihat

Oleh: Ari Yuliasril

KABUT masih menari di atas sawah bertingkat ketika matahari perlahan naik dari balik punggung Gunung Marapi. Di kejauhan, rumah gadang dengan atap gonjongnya berdiri anggun, seolah memeluk masa lalu yang belum benar-benar pergi. Dari dapur-dapur kayu, asap tipis mengepul, membawa aroma kawa daun, minuman hangat dari daun kopi yang diseduh seperti teh. Inilah Nagari Pariangan, desa yang dipercaya dalam tambo sebagai tempat lahirnya peradaban Minangkabau.

Pariangan adalah titik mula dan titik temu. Di sini legenda dan kenyataan berdampingan, adat dan keseharian saling melengkapi. CNN Travel bahkan pernah menobatkannya sebagai salah satu desa terindah di dunia, bukan hanya karena keindahan alamnya, tetapi karena keutuhan nilai hidup yang masih dijaga oleh warganya.

Jejak Tambo dan Nafas Sejarah

Menurut tambo, dari sinilah nenek moyang Minangkabau pertama kali bermukim, sebuah kisah purba yang mengaitkan asal-usul masyarakat Minang dengan lembah subur di kaki Marapi. Sampai hari ini, napas sejarah itu masih terasa di udara, dalam cara orang bertutur, berpakaian, bekerja di sawah, dan tentu saja, dalam cara mereka memasak.

Bagi masyarakat Pariangan, dapur bukan hanya tempat mengolah makanan, tetapi juga ruang sakral tempat nilai dan tradisi diwariskan. Setiap aroma santan, setiap bunyi ulekan di lesung batu, adalah jejak hidup dari leluhur yang telah lama tiada.

Situai, Timaba, dan Filosofi di Setiap Suapan

Pariangan memiliki ragam kuliner tradisional yang lahir dari kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi berkembang menjadi simbol sosial dan spiritual. Sebut saja Situai, bubur ketan yang dahulu disajikan untuk para pekerja sawah. Teksturnya lembut, gurih, dan memberikan energi bagi mereka yang seharian berkeringat di bawah terik matahari.

Lalu ada Timaba, masakan dari putik nangka dan buah palam, dimasak dengan cabai dan garam secukupnya. Hidangan ini biasa disajikan bagi mereka yang baru sembuh dari sakit, sederhana, tapi penuh makna pemulihan.

Sementara itu, Lado Tanak menjadi ikon rasa Minang yang kuat: sambal kering dimasak lama dengan santan hingga mengeluarkan aroma khas yang pekat dan menggugah selera.
Masakan ini tidak hanya melatih kesabaran dalam memasak, tetapi juga menanamkan filosofi bahwa segala yang nikmat butuh waktu dan kesabaran untuk diraih.

Setiap hidangan di Pariangan memiliki fungsi sosial, mempererat keluarga, menandai musim panen, atau menjadi bagian dari alek nagari (pesta adat). Di sini, kuliner adalah bahasa sosial yang menegaskan kebersamaan.

Kawa Daun: Simbol Kreativitas di Tengah Keterbatasan

Dari semua hidangan itu, Kawa Daun menempati posisi istimewa. Minuman ini lahir dari masa sulit, ketika harga biji kopi melambung tinggi. Untuk tetap menikmati “kopi”, masyarakat Pariangan mengeringkan daun kopi, menyangrainya, lalu menyeduhnya seperti teh.

Siapa sangka, dari keterbatasan lahir inovasi? Kawa daun kini menjadi ikon kebanggaan Pariangan. Rasanya lembut dengan aroma khas, disajikan dalam batok kelapa, perpaduan kesederhanaan dan keindahan yang membumi.

Kini, warung-warung kawa daun di Pariangan ramai dikunjungi wisatawan. Mereka datang bukan hanya untuk minum, tetapi untuk mengalami suasana, duduk di bawah atap rumbia, menikmati embun pagi, sambil menyeruput “kopi tanpa biji” yang menggambarkan filosofi kemandirian dan kecerdikan orang Minang.

Dapur Sebagai Pusat Kehidupan

Setiap kali ada alek nagari, dapur rumah gadang berubah menjadi jantung kehidupan. Perempuan menyiapkan bumbu, laki-laki memotong daging atau mengangkat kuali besar, anak-anak membantu menyalakan tungku. Tak ada sekat peran, semua terlibat, semua bagian dari kebersamaan.

Gotong royong ini bukan hanya soal kerja, tetapi juga soal makna. Dapur adalah ruang sosial, tempat orang belajar disiplin, berbagi, dan saling menghormati. Di sinilah nilai “bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat”, bulat air karena bambu, bulat kata karena mufakat, dijalankan dalam bentuk paling sederhana dan nyata.

Antara Tradisi dan Tantangan Zaman

Namun, seperti banyak nagari lain di Minangkabau, Pariangan juga menghadapi perubahan. Generasi muda lebih mengenal makanan cepat saji daripada masakan tradisional seperti Timaba atau Situai. Beberapa resep kuno mulai hilang, terkubur bersama generasi tua yang pergi tanpa sempat mewariskannya.

Padahal, setiap resep adalah arsip hidup yang menyimpan sejarah ekologi, sosial, dan spiritual masyarakat. Hilangnya satu resep berarti hilangnya satu bab dalam buku panjang kebudayaan Minangkabau.

Karena itu, upaya pelestarian mulai dilakukan. Kelompok ibu-ibu dan generasi muda di Pariangan kini mengadakan pelatihan kuliner tradisional, membuka warung wisata budaya, dan mendokumentasikan resep-resep lama agar tetap hidup.

Menjaga Rasa, Menjaga Jati Diri

Pariangan mengajarkan kita bahwa menjaga tradisi bukan berarti menolak perubahan.
Seperti kawa daun yang lahir dari keterbatasan tetapi kini menjadi kebanggaan, adat dan budaya Minang juga bertahan karena kemampuannya beradaptasi tanpa kehilangan rasa aslinya.

Dari setiap kuali yang mendidih, dari setiap daun kopi yang diseduh, Pariangan mengingatkan bahwa sejarah tidak selalu ditulis di batu atau buku, kadang ia dimasak, diaduk perlahan, dan disajikan di meja bersama keluarga.

Pariangan bukan hanya “desa tuo” dalam tambo, tetapi dapur tempat sejarah Minangkabau terus hangat dan beraroma.(***)

No More Posts Available.

No more pages to load.