Kaba: Cerita Lisan Minangkabau yang Tak Sekadar Kisah

oleh -673 Dilihat

Oleh: Dzaky Herry Marino

Di Minangkabau, cerita bukan hanya hiburan. Ia adalah jalan hidup, petuah, dan cermin dari nilai-nilai kolektif masyarakat. Dari sinilah lahir kaba, sebuah bentuk sastra lisan yang tidak hanya memikat telinga, tetapi juga menanamkan makna di hati.

Kaba adalah kisah yang hidup dalam suara, bukan di halaman kertas. Ia bisa dibacakan, tetapi lebih sering didendangkan. Dalam penyampaiannya, kaba berpadu dengan pantun, mamangan, dan pepatah petitih yang menjadikannya khas. Kadang ia tampil dalam bentuk randai, ilau, atau dinyanyikan dalam tradisi basijobang.

Yang menuturkannya disebut tukang kaba, bukan sekadar pencerita, melainkan penjaga ingatan kolektif masyarakat. Mereka membawa kisah dari satu generasi ke generasi lain, kisah tentang cinta dan pengkhianatan, kesetiaan dan kebijaksanaan, hingga perjuangan dan kehormatan. Tukang kaba tak hanya bercerita, tapi membangun jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara adat dan kehidupan sehari-hari.

Secara etimologis, kata kaba diyakini berasal dari bahasa Arab “khabar”, yang berarti berita. Namun berbeda dengan berita biasa, kaba tidak menyampaikan fakta aktual, melainkan nilai-nilai moral dan pesan kehidupan. Dalam kaba, kata-kata menjadi ruang bagi petuah dan perenungan.

Dalam khazanah Melayu, kaba sering disejajarkan dengan hikayat. Bahkan, beberapa karya muncul dalam dua bentuk, sebagai kaba dan hikayat. Contohnya Kaba Sutan Manangkerang, Kaba Manjau Ari, dan bahkan Hikayat Hang Tuah yang disadur ke bentuk kaba. Bedanya, hikayat hidup di lembar kertas, sementara kaba hidup di suara dan irama. Bahasa kaba bukan hanya bunyi, tapi juga ekspresi, perpaduan antara kata, gerak, dan suasana.

Ahli sastra Minangkabau Edwar Jamaris membagi kaba menjadi dua, kaba lama dan kaba baru. Sementara Junus menyebutnya kaba klasik dan nonklasik. Kaba lama biasanya menceritakan konflik besar, antara kebenaran dan kekuasaan, antara manusia dan nasib, dengan tokoh-tokoh yang sering memiliki kekuatan supranatural. Cerita seperti Kaba Cindua Mato, Kaba Malin Deman, atau Kaba Magek Manandin bukan hanya legenda, tapi refleksi nilai moral tentang kejujuran, pengorbanan, dan kebijaksanaan.

Sementara itu, kaba baru muncul setelah abad ke-20, ketika tulisan Latin mulai dikenal dan bahasa Melayu menjadi pengantar utama. Kaba tak lagi hanya hidup di panggung randai atau di mulut tukang kaba, tapi juga di lembar-lembar buku. Ceritanya lebih membumi, menggambarkan kehidupan sosial, perjuangan rakyat, atau dinamika perubahan zaman. Namun satu hal tak berubah, semangatnya untuk mendidik dan menyatukan.

Kaba adalah cermin jiwa Minangkabau. Ia mengajarkan bahwa kata bukan sekadar bunyi, tapi amanah. Dalam setiap dendang kaba, tersimpan falsafah, alam takambang jadi guru, alam yang luas adalah guru kehidupan.

Selama tukang kaba masih mendendangkan kisahnya, selama anak nagari masih mau mendengarkan, kaba akan tetap hidup, bukan sebagai peninggalan masa lalu, tapi sebagai napas yang terus menghidupkan adat dan budaya Minangkabau.(***)

No More Posts Available.

No more pages to load.