Oleh: Muhammad Fawzan
Mahasiswa Sastra Minangkabau, Universitas Andalas
ZAMAN boleh berganti, tapi kebijaksanaan leluhur tetap relevan. Pepatah Minangkabau “manari di ladang urang” kini menemukan makna barunya di tengah dunia digital. Jika dahulu ladang orang berarti ruang sosial atau tanah milik, kini “ladang” itu bisa berupa akun media sosial, ruang diskusi daring, atau karya digital orang lain.
Kebebasan berekspresi di internet sering kali membuat orang lupa pada batas-batas etika. Banyak yang berkomentar tanpa pikir panjang, membagikan informasi tanpa izin, atau bahkan mengambil karya orang lain seolah miliknya sendiri. Dalam konteks ini, tindakan tersebut adalah bentuk baru dari “menari di ladang orang”, bereaksi dan berekspresi tanpa mempertimbangkan hak, ruang, dan rasa orang lain.
Masyarakat Minangkabau, dengan falsafah adat basandi syarak, sebenarnya sudah sejak lama menanamkan prinsip etika komunikasi. Nilai-nilai seperti kato nan ampek (empat jenis tutur), malu baso, dan elok baso-budi mengajarkan bahwa berbicara harus sesuai tempat, waktu, dan lawan bicara. Jika dulu nasihat itu berlaku dalam pertemuan adat dan surau, kini ia bisa diterapkan dalam ruang digital.
Misalnya, seorang pengguna media sosial yang menyebarkan ujaran kebencian, komentar sarkastik, atau fitnah, sejatinya sedang menari di ladang orang, melanggar ruang aman orang lain untuk mengekspresikan diri. Begitu pula dengan praktik plagiarisme atau repost karya tanpa izin. Dunia digital memang terbuka, tetapi bukan berarti bebas dari tanggung jawab moral.
Peribahasa ini juga mengingatkan pentingnya etika dalam berpartisipasi di dunia maya. Sebagaimana dalam adat Minangkabau seseorang harus meminta izin sebelum masuk ke rumah orang lain (batamu nan manurun, barisiak nan mananjak), di dunia digital pun kita perlu izin sebelum menggunakan atau mengomentari sesuatu yang bukan milik kita.
Lebih dalam lagi, “manari di ladang urang” mengajarkan kesadaran kolektif di tengah era individualisme digital. Di balik setiap layar ada manusia dengan perasaan dan martabat. Menjaga tutur di dunia maya adalah bentuk penghormatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana menjaga sopan santun di rumah gadang.
Dengan demikian, peribahasa ini bukan sekadar nasihat adat, melainkan etika universal yang kini berfungsi sebagai panduan digital, berpikir sebelum mengetik, mendengar sebelum menilai, dan menghormati sebelum berkomentar. Dalam dunia yang semakin terbuka ini, kebebasan berekspresi akan tetap indah bila dibingkai dengan kesadaran sosial yang diwariskan oleh para leluhur kita.(***)





