Mengatasi Multitafsir Regulasi Pemilihan Kepala Daerah Pada Penyusunan Daftar Pemilih

oleh -349 Dilihat
oleh
Oleh : Eka Nurwanto Mangalung

DUNIA ilmu hukum telah memperkenalkan bahwa tujuan hukum pada umumnya ada tiga, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Pertama, keadilan sebagai tujuan hukum memiliki arti bahwa hukum dibuat untuk tujuan keadilan bagi masyarakat. Filosofi tujuan tersebut dilandaskan pada pemikiran filsafat hukum alam, bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi harus mengikuti aturan alam (moral), termasuk soal keadilan.

Oleh karena itu, hukum sebagai bagian dari alam harus mementingkan persoalan moral yakni keadilan.

Kedua, soal kemanfaatan. Sebagai tujuan hukum, kemanfaatan memiliki arti bahwa hukum dibuat dan diperuntukan bagi kemanfaatan atau kebahagiaan khalayak banyak., dalam bukunya M. Erwin yang berjudul Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum, mengutip pendapat Filsuf Inggris, Jeremy Bentham mengatakan bahwa the greatest happiness of the greatest number.

Artinya kebahagiaan sebesar-besarnya diperuntukan bagi orang sebanyak-banyaknya. Filosofi tersebut dilandasakan pada pemikiran filsafat hukum utilitarianisme (kemanfaatan).

Selanjutnya yang ketiga soal kepastian. Kepastian sebagai tujuan hukum dilandasi pada pemikiran filsafat positivisme hukum dengan substansi pemikiran bahwa hukum itu harus tertulis dan dikodifikasi serta berasal dari pemerintah yang berdaulat (undang-undang, peraturan pemerintah, perarturan lembaga dsb).

Indonesia merupakan salah satu negara yang dalam pelaksanaannya mengikuti mazhab filsafat positivisme hukum (walaupun tidak sepenuhnya). Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah historis (sejarah), di mana pengaruh negara Belanda menjajah Indonesia selama tiga setengah abad sehingga sistem hukumnya dipengaruhi oleh gaya berhukum Belanda. Karena Belanda pun mengantut sistem hukum positif.

Maka tidak heran wajah hukum di Indonesia berbentuk tertulis, kodifikasi dan berasal dari pemerintah yang berdaulat.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Perbawaslu) merupakan konsekuensi logis dari wajah positivisme hukum dengan prinsip kepastian hukum sebagai salah satu tujuannya. Karena, kedua peraturan tersebut dimanifestasikan dalam bentuk tertulis dan berasal dari lembaga yang berwenang, yakni PKPU dan Perbawaslu. PKPU merupakan produk hukum dari Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI) sedangkan Perbawaslu merupakan produk hukum dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu-RI).

KPU merupakan salah satu lembaga yang berwenang menyelenggarakan berbagai tahapan pemilu termasuk pilkada, sedangkan Bawaslu merupakan lembaga yang berwenang mengawasi jalannya tahapan pemilu atau pilkada. Selain itu, terdapat lembaga lain seperti Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP).

Dalam pelaksanaan tugasnya tidak jarang dijumpai perseteruan atau ketidaksamaan pendapat di antara kedua lembaga kepemiluan tersebut (KPU dan Bawaslu). Misalnya terkait ketidaksinkronan peraturan yang dipahami oleh KPU dan Bawaslu yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya. Seperti yang saya alami dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2020, khususnya di Kota Manado dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur serta wali kota dan wakil wali kota.

Berdasarkan pengalaman bahwa dalam perjalanan di setiap tahapan Pilkada Serentak Tahun 2020 saya masih menemui berbagai macam ketidaksinkronan peraturan antara PKPU dan perbawaslu. Seperti PKPU Nomor 19 Tahun 2019, PKPU Nomor 6 Tahun 2020 dan Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2017, yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam tahapan Daftar Pemilih Hasil Pemuthakhiran (DPHP).

Substansi kontradiktif antara PKPU dengan Perbawaslu tersebut terkait dengan persoalan data nama-nama yang tidak memenuhi syarat, perbaikan data pemilih dan pemilih baru yang terbingkai dalam format AB.KWK. Pihak Bawaslu berpendapat bahwa mereka wajib mendapatkan data pemilih tersebut atau AB-KWK dari KPU. Mereka berdalil bahwa, hal tersebut sudah menjadi amanah dari PKPU Nomor 19 Tahun 2019.

Sedangkan dari kacamata KPU selaku yang memegang data AB.KWK tidak ingin membagikan data tersebut karena berdalil pada PKPU Nomor 6 Tahun 2020 dan Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2017. Akibat hal ini banyak terjadi perdebatan dalam rapat pleno Rekapitulasi DPHP di tingkat kecamatan, khususnya di kecamatan Mapanget.

PKPU dan Perbawaslu menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sehingga dalam kaitan ini saya ingin menggambarkan dalil dalam perspektif hukum positif di Indonesia yang membahas persoalan yang dituliskan sebelumnnya. Pertama, PKPU Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Dalam ketentuan Pasal 25 ayat (4) disebutkan bahwa, panitia pemungutan suara (PPS) menyampaikan hasil rekapitulasi daftar pemilih hasil pemutahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada sejumlah pihak: PPK, KPU kabupaten/kota melalui PPK, panwaslu kelurahan/desa dan perwakilan partai politik.

Proses penyampaian tentu harus dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid 19 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
Ketentuan tersebut tidak menyebutkan bahwa PPS memberikan daftar pemilih (AB.KWK) kepada panitia pengawas lapangan (PPL) seperti yang dimaksud oleh Pasal 12 ayat (11) PKPU Nomor 19 Tahun 2019. Yang disebutkan adalah PPS memberikan rekapitulasi daftar hasil pemutahiran (DPHP) kepada Panwaslur. Rekapitulasi hasil yang dimaksud adalah yang terbingkai dalam format model AB.1-KWK. Sedangkan jika kita melihat PKPU Nomor 19 Tahun 2019 justru sebaliknya. PPS wajib memberikan DPHP (AB-KWK) kepada PPL atau Panwaslur. Tidak disebutkan untuk memberikan Rekapitulasi DPHP (AB.1-KWK) kepada PPL/Panwaslur seperti yang maksud dalam PKPU Nomor 6 Tahun 2020. Dari kondisi tersebut, kehadiran PKPU Nomor 6 Tahun 2020 seperti memberikan pesan bahwa pihak KPU tidak ingin memberikan daftar pemilih (AB.KWK) kepada pihak Bawaslu.

Kedua, Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Pemutahiran Dan Penyusunan Daftar Pemilih, dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) disebutkan PPL melakukan pengawasan proses rekapitulasi hasil pemutahiran data pemilih di tingkat PPS. Caranya melakukan koordinasi dengan PPS sebelum pelaksanaan rekapitulasi, menyampaikan rekomendasi perbaikan kepada PPS terhadap data pemilih yang akan direkapitulasi berdasarkan hasil pengawasan, dan mendapatkan salinan formulir model AB.1-KWK dan formulir model A.C.1-KWK pada hari yang sama dengan selesainya rekapitulasi di tingkat PPS.

Dari ketentuan tersebut, terlebih dalam poin tiga, jelas diamanahkan bahwa PPL bisa mendapatkan salinan formulir model AB.1-KWK dan formulir model A.C.1-KWK. Tidak menyebutkan untuk menerima salinan DPHP (AB.KWK) seperti yang dimaksud dalam PKPU Nomor 19 Tahun 2019.

Faktor Penyebab Persoalan dan Dampak yang Ditimbulkan.
Ada sejumlah faktor yang menyebakan timbulnya pertentangan antara suatu peraturan perundang-undangan. Pertama, pembentukan peraturan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan sering dalam kurun waktu yang berbeda. Kedua, pejabat yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan berganti-gantian baik karena dibatasi oleh masa jabatan dan alih tugas atau penggantian. Ketiga, pendekatan sektoral dalam pembentukan peraturan perundang-undangan lebih kuat dibanding pendekatan sistem.

Keemapat, lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang melibatkan berbagai instansi dan disiplin ilmu hukum. Kelima, akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan masih terbatas. Keenam, belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.

Menurut saya, bahwa multitafsir hukum atau regulasi itu timbul diakbitkan oleh beberapa faktor. Pertama, lemahnya koordinasi antara KPU RI dan Bawaslu RI dalam hal pembuaatan suatu regulasi. Kedua, masih kuatnya kepentingan ego lembaga (KPU RI dan Bawaslu RI). Ketiga, belum mantapnya cara dan metode dalam pembuatan regulasi antara KPU dan Bawaslu. Misalnya, peretentangan aturan yang timbul adalah antara PKPU Nomor 9 Tahun 2019 dan PKPU Nomor 6 Tahun 2020 versus Perbawaslu Nomor 9 Tahun 2017. Jika dilihat dari segi tahunnya sudah sangat jauh aturan yang ada di Bawaslu dan KPU. Jangan sampai dalam pembuatan regulasi, tidak memperhatikan aturan-aturan yang sebelumnya pernah dilaksanakan hingga berakibat pada ketidakpastian hukum.

Dalam tulisannya berjudul Harmonisasi Perundang-Undangan yang ditulis di http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi peraturanperundang-undangan.html, A.A.Oka Mahendra menjelaskan ada sejumlah akibat yang dapat ditimbulkan oleh multitafsir suatu peraturan perundang-undangan. Seperti, terjadinya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya. timbulnya ketidakpastian hukum, peraturan perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien. Kemudian, disfungsi hukum.

Artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa dan sebagai sarana perubahan sosial secara tertib dan teratur.

Sementara, menurut pengalaman saya, memang ada dampak yang ditimbulkan dari multitafsir regulasi. Pertama, menghambat tahapan. Pada dasarnya tindakan yang menghambat tahapan dalam pilkada merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum kepemiluan.

Hal ini karena disetiap tahapan pilkada sudah ditentukan waktu pelaksanaanya. Selain itu, terjadi perdebatan yang tidak substansial, yang membuat pelaksanaan pilkada tidak efektif dan efisian. Seperti yang saya alami dalam pleno DPHP, baik di tingkat kelurahan atau kecamatan, yang berlangsung sangat lama. Itu diakibatkan oleh multitafsir regulasi sehingga membuat perjalanan tahapan pleno tidak maksimal.

Kedua, berpotensi melakukan pelanggaran hukum. Maksudnya, karena hal di atas, bukan tidak mungkin terjadi hal-hal yang dilakukan oleh lembaga pemilu seperti KPU dan Bawaslu, di luar dari amanah regulasi yang ada. Misalnya, pemberian data dilakukan “di bawah meja.” Biasanya dilakukan dengan alasan demi berjalan lancarnya tahapan pilkada.

Pada dasarnya, masalah tentang multitafsir regulasi dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2020 sangatlah banyak. Masalah yang saya jabarkan di atas adalah satu dari sekian banyaknya masalah yang dijumpai dalam penyelenggaraan pesta demokrasi lima tahunan ini.

Saya mengangkat masalah tersebut karena didasarkan pada pengalaman yang saya alami sendiri sebagai PPK di Kecamatan Mapanget, Kota Manado. Akibat yang ditimbulkan dari persoalan tersebut sangatlah dirasakan, baik di internal penyelenggara-penyelenggara pemilu, peserta pemilu bahkan sampai ke masyarakat.

Dampaknya, proses penyelenggaraan pilkada terasa tidak efektif dan efisien, hingga dapat menghambat tahapan pelaksanaan pilkada.
Oleh karena itu, saya coba memberikan beberapa rekomendasi, saran untuk perbaikan tahapan pilkada kedepan, khususnya dalam tahapan daftar pemilih hasil pemutakhiran.

Pertama, tahapan evaluasi harus substansi. Evaluasi pilkada, khusus di bidang hukum harus lebih serius dan memprioritaskan persoalan substansi, bukan hanya sekedar persoalan “surat perintah perjalanan dinas” dan lain sebagainya. Dengan kata lain, diharapkan tahapan evaluasi kali ini, dapat memberikan rekomendasi, saran hasil evaluasi dengan maksud penyelenggaraan pilkada lebih baik ke depan. Tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena “surat perintah perjalanan dinas” merupakan suatu kebutuhan dan sebagai hak bagi yang mengikuti tahapan evaluasi. Akan tetapi, itu akan terasa bernilai dan bermakna, manakala dibarengi dengan keseriusan dalam menjalankan kewajiban. Paling tidak dalam bentuk kontribusi pemikiran.

Kedua, formulasi baru terkait koordinasi antar lembaga. Menurut saya, salah satu akar persoalan yang dihadapi adalah lemahnya koordinasi antara KPU RI dan Bawaslu RI sebagai pembuat regulasi. Sehingga ke depan, baiknya di antara kedua lembaga tersebut membuat formulasi baru yang cocok dalam hal pembuatan suatu aturan hukum, guna menghindari multitafsir regulasi.

Ketiga, harus mampu mengenyampingkan ego demi kepentingan bersama. Ego suatu lembaga memang merupakan masalah yang sulit dihindarkan. Namun sudah menjadi konsekuensi logis, bahwa ketika pimpinan-pimpinan KPU dan Bawaslu disumpah dan dilantik sebagai komisioner maka harus mengeyampingkan persoalan ego masing-masing lembaga.

Terakhir soal penataan regulasi yang efektif dan efisien. Menurut saya, jika dilihat pertentangan aturan yang terjadi di antara kedua lembaga kepemiluan tersebut, adalah antara aturan yang lama dan baru. Melihat hal itu, paling tidak KPU dan Bawaslu RI bisa lebih fokus dan memperhatikan aturan-aturan yang masih berlaku.(*)

BIOGRAFI SINGKAT PENULIS

Penulis bernama Eka Nurwanto Mangalung, tempat dan tanggal lahir Desa Talawid, 30 November 1995. Ia adalah anak ke dua dari dua bersaudara yang diahirkan dari Pasangan Pormagsi Mangalung dan Nuraining Kaunang (Alm). Ia juga merupakan anak asuh ke empat dari empat bersaudara yang dibesarkan oleh pasangan Mahbub Penghabisan (Alm) dan Ramlah Kaunang.

Saat ini, penulis sudah berkeluarga dan memilki seorang putra. Nama istrinya adalah Shindy Andani Mandiri dan putranya Rasendria Kaylan Ghifary.

Penulis merupakan Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado atau biasa orang menyebutnya Unsrat. Selama berkuliah di Unsrat Ia aktif di berbagai kegiatan kemahasiswaan baik internal maupun eksternal.

Di internal ia pernah menjadi anggota di Lembaga Advokasi Mahasiswa, menjadi sekertaris bidang advokasi di Badan Tadzkir Fakultas Hukum Unsrat Periode 2016-2017, pernah mengikuti kegiatan Nasional seperti peradilan semu NMCC Tjokorda Raka Dherana IV tahun 2016 di Bali yang berperan sebagai penasihat hukum.

Pengalaman terkahir dalam karir di internal kampus adalah Ia dipilih sebagai Ketua Umum Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat Periode 2017-2018.

Sedangkan pengalaman di eksternal kampus adalah menjadi Ketua Bidang Pengembangan Anggota (PA) Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Manado Komisariat Hukum Periode 2015-2016, dan saat ini menjabat sebagai Ketua Bidang Penertiban Aparatur Organisasi (PAO) Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Manado.

Saat ini penulis juga sedang melanjutkan pendidikan di pasca sarjana Unsrat semester dua dengan mengambil konsentrasi hukum pemerintahan daerah.

Pengalaman penulis dalam dunia pekerjaan, adalah pernah menjadi Surveyor di berbagai lembaga Survei. Saat ini Ia bekerja disalah satu perusahaan yang bergerak dibidang transportasi PT. Bumi Jasa Utama Kalla Transport.

Sedangkan pengalaman dalam dunia kepemiluan adalah menjadi anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Mapanget Kota Manado, dalam Pemilihan Kepala Daerah Gubernur dan Walikota Tahun 2020 yang berlangsung di tengah pandemic Covid-19.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.